[Chapter 1] Home

Farmhouse Garden Salad a blend of fresh greens,cucumbers, red onions, grape tomatoes, cheddar cheeseand croutons. Served with your choice of dressing.

HOME

kwon jiyong // part 1 // hurt/comfort

[prolog]

Malam ini hujan turun. Menyebabkan bau tanah sedikit tercium dari dalam kamar bercat merah muda dan biru langitnya. Dia mengalihkan pandangan ke meja belajarnya, ke bingkai foto yang ada di atas meja itu. Soomin di sebelah kiri, Jiyong di kanan, dan ditengah ada seorang gadis muda yang sangat dikenalnya: itu dirinya.

Dia ingat foto itu diambil ketika sekolah mengadakan piknik akhir tahun. Saat-saat menyenangkan. Saat-saat Jisung begitu bahagia karena baru saja merasakan hangatnya keluarga. Saat-saat dia baru saja memiliki kakak bernama Soomin. Saat-saat dia merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki bernama Jiyong.

Bicara soal Jiyong, apa yang sedang dilakukannya? Dia menerka-nerka. Apa Paris begitu menyenangkan sampai dia tidak ingin pulang? Apa dia sibuk?

Kring—

Dilihatnya sekilas layar ponsel itu.

Ibu.

“Halo.”

“Halo nak.”

“Ada apa bu?”

“Apa kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Ibu harus bertemu teman ibu sebentar.”

“Baiklah, bu!”

Tidak butuh waktu lama. Rumah sakit juga tidak punya jarak yang cukup jauh, walaupun sebenarnya ini berkat hujan turun yang menyebabkan jalanan tidak macet.

Gagang pintu geser itu masih dipegangnya erat. Sebenarnya sudah dia buka, sedikit, paling beberapa senti.

“Kamu harus bahagia apapun yang terjadi.” Itu yang didengarnya pertama kali. Membuat Jisung mengurungkan niatnya untuk menerobos masuk dan mengejutkan penghuni di dalamnya.

“Aku akan tidur sekarang.” Pasti Jiyong menelepon. Dia begitu rindu Soomin ternyata.

“Selamat malam.”

Tepat sebelum telepon itu ditutup, Jisung sudah menutup pintu itu perlahan. Alih-alih agar tidak ketahuan menguping, dia menunggu beberapa detik lalu mengetuk pintu geser itu. “Aku masuk,” katanya.

“Jisung!” Sapa gadis seusianya. Atau mungkin lebih tua setahun.

“Bagaimana keadaanmu, Soomin?” Padahal, tidak usah bertanya, karena Jisung sudah tahu jawaban Soomin pasti, aku baik-baik saja kok. Padahal, tidak usah bertanya, karena sebenarnya Jisung tahu kalau Soomin tidak begitu baik-baik saja.

Kali ini sepertinya Soomin mencoba untuk tidak menjawab dan hanya menunjukan senyumnya.

“Kenapa belum tidur?”

“Baru aja ingin tidur. Aku tidur dulu ya, Jisung. Selamat malam.”

“Ya.”

Jalanan Kota Paris agak becek pagi ini. Matahari juga belum terlihat karena tertutup awan tebal. Tapi itu bukan masalahnya. Masalahnya: Jiyong tak kunjung pulang.

Sambil memantul-mantulkan bola tenis yang ada di tangannya, dia menelusuri trotoar besar-besar ini. Pandangannya tertunduk, entah karena dia ingin melihat sepatu hitamnya yang terciprat air barusan atau karena dia ingin wajahnya tidak dikenali. Yaa, siapa yang tidak kenal Kwon Jiyong, kan.

Ponselnya bergetar sebentar, lalu diperiksanya.

8.00 am Jiyong, kamu keterlaluan. Ini sudah dua bulan. Kembalilah. Semua orang merindukanmu. Jisung.

“Semua orang merindukanmu,” suaranya tidak sebegitu keras, namun seseorang di sebelah lelaki itu menengok sebentar. Mungkin orang itu merasa aneh, atau mungkin penasaran, ini Paris, dan Jiyong pakai bahasa Korea.

Jiyong tersenyum miris. Dihapusnya pesan tadi dan dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku, seperti sedia kala. Terlihat bahwa lelaki itu tidak peduli sama sekali.

Air menetes sekali, mengenai wajahnya. Dia pun mengusapnya. Dan tak lama kemudian, satu tetes, dua tetes, tiga tetes. Karena kewalahan mengusap wajahnya, Jiyong mulai berjalan lagi, masih sambil memantul-mantulkan bola tenis itu. Baru beberapa meter, Jiyong sudah mulai basah kuyup, hujan tambah deras rupanya.

3.00 pm Kamu bertingkah begini, Soomin tetap nggak akan kembali

5.00 pm Jiyong

Lampu kelap-kelip berwarna-warni dan dentuman musik yang memekakkan telinga, biasanya Jiyong tidak sering pergi ke tempat seperti ini, biasanya Jiyong lebih memilih diam di kamarnya dan tidur. Hanya ada tiga alasan mengapa Jiyong bisa pergi ke tempat ini: pertama, dia dipaksa mati-matian oleh teman atau krunya; kedua, dia sedang mencari tempat yang berisik—Jiyong tidak terlalu suka tempat berisik; dan terakhir, dia tidak bisa tidur. Sepertinya alasan ketiga cukup tepat untuk situasi kali ini. Ditambah dengan alasan; dia sedang sangat sedih.

1.00 am Aku sedang dalam perjalanan ke sana, sebaiknya kamu tidak kemana-mana.

Pesan yang terakhir belum dibacanya, dia terlalu pusing dan lelah untuk memeriksa ponselnya. Biasanya anggur tidak sebegitu mudahnya untuk membuat Jiyong mabuk, mungkin efek samping dari dentuman yang memekakkan telinga—karena biasa Jiyong minum-minum di rumahnya, mungkin juga efek samping dari kesedihan. Beberapa menit kemudian, dunia terasa gelap bagi Jiyong.

Jiyong.

Jiyong.

Soomin.

Jisung jelas-jelas sedang menunggu. Dan lelaki di sampingnya ini tak kunjung bangun. Biasanya, dua hari bukan waktu yang lama bagi Jisung. Hari-harinya selalu terasa menyenangkan dan berjalan dengan cepat. Tapi, kenyataannya, akhir-akhir ini memang berbeda, waktu terasa berhenti, waktu terasa membekukannya.

“Kamu sepertinya harus beristirahat, Jisung.” Ibunya Jiyong mengingatkan. Tapi Jisung malah pura-pura tidak dengar dan terus menunggu. Ini salah Jisung. Kalau saja dulu dia lebih kuat, kalau saja dulu dia lebih memikirkan masa depan, mungkin dia tidak akan bertemu Jiyong, mungkin dia juga tidak akan merasakan jatuh cinta pada lelaki itu. Mungkin dia tidak akan merasa terluka seperti ini. Tidak bisa dipungkiri kalau Jisung menyesali semua itu. Ini memalukan.

Pada saat itulah keajaiban terjadi. Dokter dan perawat berhilir memasuki ruangan itu. Ayah dan Ibu Jiyong menunggu di luar, begitu pula Jisung, dan Ayah dan Ibu Jisung.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia baik-baik saja,” kata Dokter.

“Jisung, Jiyong ingin bertemu denganmu,” kata Ibu Jiyong.

Saat dia masuk, Jisung berpikir kalau dokter benar; Jiyong memang terlihat baik-baik saja.

“Mereka bilang kamu yang membawaku ke sini.”

“…”

“Terima kasih, omong omong.”

“Berterima kasih, seperti bukan gayamu.”

“Aku tidak suka berhutang.”

“Jangan mengoceh dan cepatlah membaik. Kamu harus segera pulang.”

Tepat setelah mengatakan itu, Jisung kembali keluar dan buru-buru berpamitan pulang. Diambilnya mantel cokelat di pintu dan berlari menembus salju. Salju itu dingin. Tapi air matanya terasa hangat. Dia menghapus air mata itu dan memasukkan kedua tangannya ke saku mantel, mengejar bis yang hampir berlalu.[]

Leave a comment